Tata Cara Shalat Menurut 4 Mazhab
Ilustrasi gerakan sholat ; Ilustrasi sholat : takbir , ruku’, sujud, ; Fahmi sholat ; berdoa, tahiyatSecara etimologi shalat berarti do’a
sedangkan menurut istilah Shalat adalah ibadah kepada Allah yang terdiri dari perkataan dengan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam .
II. Dalil yang Mewajibkan Shalat
Dalil yang mewajibkan shalat banyak sekali, baik dalam Al Qur’an maupun dalam Hadits nabi Muhammad SAW.
a) Dalil wajbnya sholat berdasarkan firman Allah SWT
Dalam al Qur’an terdapat perintah untuk mengerjakan sholat , antara lain berbunyi;
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.(Surat Al Baqarah Ayat 110)
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
“Dan dirikanlah Shalat, dan keluarkanlah Zakat, dan ruku’lah bersama-sama orang yang ruku” (QS.Al Baqarah;43)
وَاَقِمِ الصَّلَوةَ صلى اِنَّ الصَّلَوةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ
Kerjakanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan yang jahat dan mungkar”(QS. Al-Ankabut;45)
Masih banyak lagi ayat lainnya yang menjelaskan tentang kewajiban melaksanakan sholat ini
b) Perintah shalat juga terdapat dalam hadis nabi Muhammad SAW, diantaranya :
1] Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).
2] Hadits Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Ahmad 5/346, At-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 574 dan juga dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hal. 299) [Lihat Tharhut Tatsrib, 1/323]
3] Hadits ‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدًا يُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شاَءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
“Shalat lima waktu Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan di antara kelima shalat tersebut karena meremehkan keberadaannya maka ia mendapatkan janji dari sisi Allah untuk Allah masukkan ke surga. Namun siapa yang tidak mengerjakannya maka tidak ada baginya janji dari sisi Allah, jika Allah menghendaki Allah akan mengadzabnya, dan jika Allah menghendaki maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Dawud no. 1420 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
4] Perintah untuk menyuruh anak mengerjakan sholat sejak berusia 7 tahun
عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
( مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَ هُمْ أَبْنَاءُ سَبْعَ سِنِيْنَ، وَ اضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَ هُمْ أَبْنَاءُ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَ فَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ )
Artinya: “Dari ‘Amr Bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika mereka tidak mengerjakan shalat pada usia sepuluh tahun, dan (pada usia tersebut) pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Hadits shahih; Shahih Ibnu Majah (5868), Sunan Abu Daud (2/162/419) lafazh hadits ini adalah riwayat Abu Daud, Ahmad (2/237/84), Hakim (1/197))
Sholat memiliki beberapa rukun, syarat syah, sunat sholat dan yang membatalkan sholat
1. Rukun Sholat Menurut Empat Mazhab
Rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat tidak sah, tidak teranggap secara syar’i, dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
1) Rukun Shalat menurut Mazhab Hanafi:
Menurut Mazhab Hanafi rukun Sholat ada 6, yaitu :
4. Ruku’ (Sunnah membaca Tasbih)
2) Rukun Shalat menurut Mazhab Maliki:
Menurut Mazhab Maliki rukun Sholat ada 13, yakni:
5. Ruku’ (Sunnah membaca Tasbih)
6. I’tidal/Bangun dari Ruku’
10. Membaca Tasyahud Akhir
11. Membaca Shalawat Nabi
3) Rukun Shalat menurut Mazhab Syafi’i:
Menurut Mazhab Syafi’i Rukun Sholat ada 13, yakni:
5. Ruku’ (Sunnah membaca Tasbih)
6. I’tidal/Bangun dari Ruku’
10. Membaca Tasyahud Akhir
11. Membaca Shalawat Nabi
4) Rukun Shalat menurut Mazhab Hambali:
Menurut Mazhab Hambali Rukun Sholat ada 13, yakni
4. Ruku’ (Wajib membaca Tasbih)
5. I’tidal/Bangun dari Ruku’
9. Membaca Tasyahud Akhir
10. Membaca Shalawat Nabi
Disini bisa kita lihat,dimana mazhab Hanafi termasuk yang paling sedikit dalam menetapkan jumlah rukun shalat, hanya 6 saja. Sementara ulama lain berpendapat rukun sholat ada 13, walaupun juga terdapat lagi perbedaan dal hal yang 13 tersebut.
Ulama berbeda pendapat dalam hal apakah niat ini termasuk rukun ataupun tidak seperti yang sudah dijelaskan diatas, namun ulama berbeda pendapat mengenai hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram
Menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan (bid’ah), kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Dasar kebolehan melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat, ini menurt pendapat yang mengatakan hukum mengucapkan niat itu sunnah.
Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirahat di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidak harus,bahkan manurut mazhab ada perbedaan pendapat dalam hal mengucapkan niat ini, dimana menurut. Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana dijelaskan dalam jilid pertama dalam buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali.
Inilah dasar bagi ulama yang mengatakan bahwa mengucapkan niat sholat tersebut adalah bid’ah, sementara hadis yang menjelaskan tentang niat sebelum sholat berdasarkan hadis diatas adalah tidak tepat, karena andaikan sholat juga diperintahkan mengucapkan niat, tentulah Rasulullah akan memerintahkan juga sebagaimana diperintahkan sewaktu akan melakukan ibadah haji dan umrah tersebut, namun tak satupun hadis yang menjelaskan masalah tersebut. Sehingga mengqiaskan mengucapkan niat sholat kepada niat haji adalah mengqiaskan dua hal yang berbeda…
Ulama sepakat mengatakan bahwa takbiratul ihram termasuk rukun sholat“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
* Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya.
* Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”.
* Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu AlAjall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
* Khilaf Ulama
* Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab).
* Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.
* Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat.
• Apabila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.
• Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.
• Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya.
• Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.
* Ulama sepakat mengatakan bahwa takbiratul ihram termasuk rukun sholat“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
* Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya.
* Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”.
* Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu AlAjall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
* Khilaf Ulama
* Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab).
* Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.
* Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat.
Apabila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.
Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.
Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. •
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.
4. Membaca al-Fatihah merupakan rukun sholat,– Walaupun ada perbedaan pendapat dalam hal keharusan membaca al-fatihah ini (akan dibahas pada pembahasan hukum membaca al-Fatihah dan Bismillah diawal al-Fatihah dalam sholat
5. Rukuk. Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat.
Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak.
Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah, membaca tasbih pada waktu rukuk hanya sunnah saja. Juga Syafi’i dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan tasbih .
Mazhab lainnya : Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib , wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’.
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh.
Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan : • Sami’allahuliman hamidah • ”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”
semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud.
8. Duduk diantara dua sujud,
mazhab Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud
9. Tahiyyat (Tasyahud): tahiyyat/tasyahud di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat
• Maliki, Syafi’i dan Hambali : tasyahud terakhir adalah wajib. dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib.
Hanafi • Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi : Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu ’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuhAssalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin Asyhadu anlaa ilaaha illallah Wa asyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Maliki • Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah Wa asyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Syafi’i • Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin Asyhadu anlaa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
Hambali • Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh Allahumma sholli ’alaa muhammad
10. Duduk Tasyahud akhir.
Semua mazhab sepakat bahwa duduk tasyahud akhir adalah bagian dari rukun sholat.
11. Membaca shalawat pada tasyahud akhir.
Hanafi , membaca shalawat pada tasyahud akhir tidak termasuk rukun sholat, mazhab lainnya sepakat bahwa membaca shalawat pada tasyahud akhir adalah bagian dari rukun shalat.
12. Salam • Syafi’i, Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib.
13. Tertib. Syafi’i, Maliki, dan Hambali : Tertib merupakan rukun sholat. Hanafi : tidak termasuk rukun sholat.
14. Tumakninah merupakan rukun shalat menurut mazhab Hambali
*( Dosen Syariah STAIN Curup)
6,192 total views, 6 views today