Buku Panduan Pelayanan Medik Papdi 2022

45 Buruk

18,5-22, , > 126 > > 200 > 25

> 8

> 240 > > 140/ KOMPLIKASI A. Akut: • Ketoasidosis diabetik • Hiperosmolar non ketotik • Hipoglikemia B. Kronik: • Makroangiopati: – Pembuluh koroner – Vaskular perifer – Vaskular otak •
Mikroangiopati; – Kapiler retina – Kapiler renal • Neuropati • Gabungan: – Kardiopati: penyakitjanting koroner, kardiomiopati • Rentan infeksi • Kaki diabetik • Disflingsi ereksi

PROGNOSIS Dubia

WEWENANG • •

RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Metabolik Endokrinobgi

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi
Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam divisi ginjal-hipertensi, divisi kardiologi, dan Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.

RS non pendidikan; Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.

REFERENSI 1. 2. 3.

4.

PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2002. PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe
2. 2002. The Expert Committee on The Diagnosis and Classification ofDiabetes MelUtus. Report o f The Expert Committee on The Diagnosis and Classification o f Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan 2003;26(Suppl. ]):S5-20. ‘�uyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a p-Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002: The Recent Management in Diabetes and Its Complications : From Mo¬ lecular to Clinic. Jakrta, 2-3 Nov 2002.Simposium Current Treatment in Internal Medi¬ cine 2000. Jakarta,11-12
November 2000:185-99.

Panduan Pelayanan Medik PAPDI TIROTOKSIKOSIS PENGERTIAN Tirotoksikosis merupakan suatu keadaan di mana didapatkan kelebihan hormon tiroid karena ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan. Tirotoksikosis dibagi dalam 2 kategori:

1. 2.

Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme

Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan.Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah hipertiroidisme karena penyakit Graves, struma multinodosa toksik (Plummer), dan adenoma toksik. Penyebab lain ialah tiroiditis, penyakit trofoblastik, pemakaian yodium berlebihan, obat hormon tiroid, dll. Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan mengancam jiwa. Umumnya
keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau Struma [multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus: infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres emosi, penghentian obatanti-tiroid, terapi I’�\ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, pemyakit serebrovaskular/strok, palpasi tiroid terlalu kuat.

DIAGNOSIS Gejala dan tanda tirotoksikosis: hiperaktivitas, palpitasi, berat badan turun, nafsu makan meningkat, tidak tahan panas,
banyak keringat, mudah lelah, sering buang air besar, oligomenore / amenore dan libido turun, takikardia, fibrilasi atrial, tremor halus, refleks meningkat, kulit hangat dan basah, rambut rontok, bruit. Gambaran klinis penyakit Graves: struma difus, tirotoksikosis, oftalmopati/ eksoftalmus, dermopati lokal, akropaki Laboratorium: TSHs rendah, meningkat

atau fT� tinggi. Pada

toksikosis;

atau fT�

Penderita yang dicurigai krisis tiroid • Anamnesis: Riwayat penyakit
hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun, perubahan suasana hati, bingung, diare, amenorea • Pemeriksaan fisik: – Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves atau penyakit lain – Sistem saraf pusat terganggu: delirium, koma – Demam tinggi sampai 40�C – Takikardia sampai x/menit Dapat terjadi gagal jantung kongestif, ikterus Metabolik Endokrinobgi •

Laboratorium: TSHs sangat rendah, / fT� / tinggi, anemia normositik normokrom,
limfositosis relatif, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat, azotemia prerenal EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat.

DIAGNOSIS BANDING •

Hipertiroidisme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik, adenoma toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mutasi reseptor TSH, obat: kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow) Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: tiroiditis subakut, tiroiditis silent,
destruksi

tiroid (karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia) Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional

PEMERIKSAAN •

• • •

PENUNJ ANG

Laboratorium: TSHs, T� atau fT�, T3, atau fT�, TSH RAb, kadar leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid) Sidik Tiroid /
thyroidscan: terutama membedakan penyakit Plummer dari penyakit Graves dengan komponen nodosa EKG Foto toraks

TERAPI Tata laksana Penyakit Graves: ObatAntitiroid • Propiltiourasil (PTU) dosis awal mg / hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari. • Metimazol dosis awal 20 – 30 mg / hari. • Indikasi: – Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda dengan struma ringan – sedang dan tirotoksikosis – Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan
atau sesudah pengobatan yodium radioaktif – Persiapan tiroidektomi – Pasien hamil, lanjut usia – Krisis tiroid Penyekat adrenergik P pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis mg dalam4 dosis. Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab. FT� TyT3 dan TSHs.Setelah tercapai eutiroid, obat
antitiroid dikuxangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama bulan, Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps. Panduan Pelayanan Medik PAPDI Tindakan bedah Indikasi:• Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid •
Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi • Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium radioaktif • Adenoma toksik, struma multinodosa toksik • Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul Radioablasi Indikasi; • Pasien berusia > 35 tahun

• • • •

Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid Adenoma toksik, struma
multinodosa toksik

Tatalaksana Krisis tiroid: (terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid) 1. Perawatan suportif: • Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen) • Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit; infus Dextrose 5%danNaC10,9% • Mengatasi gagal jantung: diuretik, digitalis 2. Antagonis aktivitas hormon tiroid; • Blokade produksi hormon tiroid; PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Altematif; Metimazol mg tiap 4 jam PO. Pada keadaan sangat berat; dapat diberikan
melalui pipa nasogastrik (NOT) PTU 600 — 1.000 mg atau metimazol mg. • Blokade ekskresi hormon tiroid:Solutio Lugol saturatedsolution ofpotas¬ sium iodida) 8 tetes tiap 6 jam • Penyekat P; Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target: firekuensi jantung

KOMPLIKASI

• •

Penyakit Graves; penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid. Krisis tiroid: mortalitas

PROGNOSIS

• •

Dubia ad bonam. Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15%.

WEWENANG • •

RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan; Dokter Spesialis Penyakit Dalam MetabotDc
Endoknnobgi

sUNIT YANG MENANGANI • •

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan; Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi ginjal-hipertensi, divisi kardiologi, dan Departemen Neurologi, Radiologi/Kedokteran nuklir, Patologi Klinik, Bedah/tumor. RS non pendidikan: Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.

REFERENSI 1. Sumual
A, Pandelaki K. Hipertiwidisme. In: Waspadji S, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta: BalaiPenerbH FKULp. . 2. Jameson JL, Weetman AP Disorders o f the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine. 15’� ed. New York: McGraw-HiU:2001 .p. . 3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di BidangIlmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16April
2000:78-82. 4. Suyono S, Subekti /. Patogenesis dan Gambaran Klinis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. 5. Waspadji S. Pengelolaan medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.

Panduan Pelayanan Medik PAPDI KETaASIDOSlS�DIABETIKUM P E N G E RTI A N Ketoasidosis diabetikum adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan merupakan
komplikasi akut diabetes melitus yang serius. Gambaran klinis utama ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik, faktor pencetus: infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, pengguna an obat golongan steroid, penghentian atau pengurangan dosis insulin.

DIAGNOSIS Klinis; • Keluhan poliuri, polidipsi • Riwayat berhenti menyuntik insulin • Demam / infeksi • Muntah • Nyeri perut • Kesadaran: kompos mentis, delirium, koma • Pemapasan cepat dan dalam
(Kussmaul) • Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering) • Dapat disertai syok hipovolemik Kriteria diagnosis: Kadar glukosa

pH HC03Anion gap Keton serum

>250mg/dL

PIAGNOSiSI BANDING Ketosis diabeti�hiperglikemi hiperosmolar non ketotik / hyperglycemic hyperosmolar state, ensefalopati uremikum, asidosis uremikum, minum alkohol, ketosis alkoholik, ketosis hipoglikemia, ketosis starvasi, asidosis laktat,
asidosis hiperkloremik, kelebihan salisilat, drug-induced acidosis, ensefalopati karena infeksi, trauma kapitis. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan cito; gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, aseton darah, urin rutin, analisis gas darah, EKG Pemantauan: • Gula darah: tiapjam, • CI”: tiap 6 jam selama24 jam, selanjutnya sesuai keadaan. Na�, • Analisis gas darah: bilapH 7,1. Selanjutnya setiap hari sampai stabil. Metabolik
Endokrinobgi

Pemeriksaan lain (sesuai indikasi); kultur darah, kultur urin, kultur pus

TERAPI Akses intravena (iv) 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way: L Cairan: • NaCl 0,9 % diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1 L pada jam kedua, lalu± 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan ± 0,25 Lpadajamkelimadan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan. • Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L. • Jika Na”� > 155 mEq/L —> ganti cairan dengan NaCl 0,45
%. • Jika GD

BL

Insulin (regular insulin = RI): • Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan • RI bolus 180mU/kgBB IV, dilanjutkan: • RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9% • Jika GD RI drip 45 mU/kgBB/j am dalam NaCl 0,9% • JikaGDstabil mg/dLselama 12jam �RI drip l-2U/jamIV,disertai sliding scale setiap 6 jam: GD � RI (mg/dL) (Unit, subkutan) > • Jika kadar GD ada yang dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan).

nL Kalium • Kalium (K CI) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50 mEq / 6 jam. Syarat: tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat. • Bila kadar pada pemeriksaan elektrolit
kedua: dripKCI 50mEq/6jam — —> 4,5 6,0 dripKCl 25mEq/6jam > 6,0 drip dihentikan • Bila sudah sadar, diberikan oral selama seminggu. IV. Natrium bikarbonat TatalaksanaUmum: • Oksigen bila PO� ada KID satau hiperosmolar (>380 mOsm/L) Terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis; • Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pemapasan, temperatur setiap jam, • Kesadaran setiap jam, • Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam, • Produksi urin setiap j am, balans cairan • Cairan infus yang masuk setiap jam, Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang).

KOMPLIKASI

Syok hipovolemik, edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut, hipoglikemia, hipokalemia,
hiperkloremia, edema otak, hipokalsemia

PROGNOSIS Dubia ad malam, tergantung pada usia, komorbid, adanya infark miokard akut, sepsis, syok.

WEWENANG • •

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan : Bagian Ilmu
Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

• •

RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik

REFERENSI PERKENl. PetunjukPraktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2002. Waspadji S. Kegawatanpada Diabetes Melitus. In: Presiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, April 2000:83-8. 3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In:Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta, April 2000:89-96. 4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA, Malone JI, et al. Management o f Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes. Diabetes Care, Jan

J. 2. ;24(1):131-5L Metabolik Endokrinologi

HIPOGUKEMIA PENGERTIA U Hipoglikemiaadalahkeadaandimanakadarglukosadarah obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral • Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca persalinan • Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat • Kegiatan jasmani berlebihan.

DIAGNOSIS Gejala dan tanda klinis : • Stadium parasimpatik; lapar, mual, tekanan darah turun • Stadium gangguan otak ringan; lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara • Stadium simpatik; keringat dingin pada muka, bibir atau
tangan gemetar • Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang Anamnesis: • Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis. • Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi • Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya • Lama menderita DM, komplikasi DM • Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll • Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik P, dll. Pemeriksaan fisik: pucat, diaphoresis, tekanan darah,
frekuensi denyut jantung, penurunan kesadaran, defisit neurologik fokal transien Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum: 1, Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia 2 Kadar glukosa plasma rendah 3. Gejala’mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat

DIAGNOSIS BANDING Hipoglikemia karena • Obat: – (sering): insulin, sulfonilurea, alkohol, (kadang): kinin, pentamidine (jarang): salisilat, sulfonamid • Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, kelainan sel P jenis lain, sekretagogue
Panduan Pelayanan Medik PAPDI • • • • (sulfonilurea), autoimun, sekresi insulin ektopik Penyakit kritis: gagal hati, gagal ginjal, gagal jantung, sepsis, starvasi dan inanisi Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin Tumor non-sel P: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma, melanoma Pasca-prandial: reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol

PEMERIKSAAN

PEN UNJ ANQ

Kadar glukosa darah (GD), tes flingsi
ginjal, tes fungsi hati, C-peptide

TERAPI Stadium permulaan (sadar) • Berikan gula mumi 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula mumi (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang

• • • •

mengandung karbohidrat Hentikan obat hipoglikemik sementara, Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar) Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga
hipogUkemia): 1. Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (= 50 mL) bolus intra vena, 2. Diberikan cairan Dekstrosa 10 %per infus, 6jamperkolf, 3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer: • Bila GDs + bolus Dekstrosa40 % 50 mL IV • Bila GDs + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV 4, Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 % : • Bila GDs + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV • Bila GDs —> + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV • Bila GDs mg/dL—> tanpa bolus Dekstrosa 40 % • Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa

10% Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %. 6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol
sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %. 7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam: GD � RI (mg/dL)_(Unit, subkutan) . MetBbolik Endokiinobgi

8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti: adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila
penyebabnya insulin) 9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dL: Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12jamatauDeksametason lOmg IVbolus dilanjutkan2 mgtiap 6jamdan Manitol 1,5-2 g/kgBB IV setiap6-8jam. Can penyebab lain penurunan kesadaran menurun

KOMPLIKASI Kerusakan otak, koma, kematian

PROGNOSIS Dubia.

WEWENANG •

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam

dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan;
Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

• •

RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Medical High Care / ICU RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik, ICU

R E FE R E N S I : PERKENL Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2002. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Melitus. Dalam
Presiding Simposium Penatalaksanaan 2. Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, April 2000:83-8. 3. Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principles o f Internal MedicineJ 5’� ed. New York: McGrawHill: 2001.p. . /. Panduan Pelayanan Medik PAPDI

D I S L I PI D E M I A PENGERTIAN Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan (peningkatan atau penurunan)
fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar kolesterol HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan, sehingga dikenal sebagai triad lipid. Secara klinis dislipidemia diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: Hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, dan campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia

DIAGNOSIS Klasifikasi kadar kolesterol:
Kolesterol LDL:

Klasifikasi: Kolesterol total:

Kolesterol HDL

190mg/dL

Optimal Hampir optimal Borderline tinggi Tinggi Sangat tinggi mg/dL

Idaman Borderline tinggi Tinggi

60 mg/dL

Rendah Tinggi

Untuk mengevaluasi risiko penyakit jantung koroner (PJK), perlu diperhatikan faktorfaktor risiko lainnya: • Faktor risiko positif:
Merokok – Umur (pria > 45 tahun, wanita > 55 tahun) Kolesterol HDL rendah – Hipertensi ( TD > 140/90 atau dalam terapi antihipertensi) – Riwayat penyakit jantung koroner dini dalam keluarga {first degree: pria 2
faktor risiko, meliputi: umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan hipertensi. Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan angka persentase risiko PJK dalam 10 tahun. Ekivalen risiko PJK mengandung risiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan kejadian PJK, yakni > 20 % dalam 10 tahun, terdiri dari: Metabolik EndokrinolDgi • • •

Bentuk klinis lain dari aterosklerosis: penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdominalis, penyakit arteri
karotis yang simptomatis, Diabetes Faktor risiko multipel yang mempunyai risiko PJK dalam 10 tahun > 20 %.

Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida: Obesitas, berat badan lebih Inaktivitas fisik Merokok Asupan alkohol berlebih Diet tinggi karbohidrat ( > 60 % asupan energi), Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik Obat: kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat
adrenergik-beta dosis tinggi Kelainan genetik (riwayat keluarga)

Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia Normal : 500 mg/dL : Sangat tinggi

DIAGNOSIS BANDING

Hiperkolesterolemia sekunder , karena hipotiroidisme, penyakit hati obstruksi, sindrom nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat (progestin, siklosporin, thiazide) HipenriHliseridemia sekunde r,
karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik, lipodistrofi, glycogen storage disease, alkohol, bedah bypass ileal, stres, sepsis, kehamilan, obat (estrogen, isotretinoin, penghambat beta, glukokortikoid, resin pengikat bile-acid� thiazide), hepatitis akut, lupus eritematosus sistemik, gammopatimonoklonal: myeloma multipel, limfoma AIDS: inhibitor protease HDL rendah sekunder , karena malnutrisi, obesitas, merokok, penghambat betasteroid anabolik

PEMERIKSAAN PENUNJANG Skrining dianjurkan
pada semua pasien berusia 20 tahun, setiap 5 tahun sekah: Kadar kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida, glukosa darah, tes fiingsi hati, urin lengkap, tes flingsi ginjal, TSH, EKG

TERAPI Untuk hiperkolesterolemia: Penatalaksanaa n Non-famiakolopi s (Perubahan Gaya Hidup): • Diet, dengan komposisi: – Lemakjenuh

Karbohidrat Protein
Serat Kolesterol – 60 % kalori total hingga 15 % kalori total g / h a r i

Latihanjasmani Penurunan berat badan bagi yang gemuk Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di bawah ini), pemantauan setiap 4-6 bulan. • Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai: intensifkan penurunan lemak jenuh dan kolesterol, tambahkan stanol/steroid
nabati, tingkatkan konsumsi serat, dan kerjasama dengan dietisien. • Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan, dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan latihanjasmani.

Terapi Farmakologis: • Golongan statin: – Simvastatin 5-40 mg – Lovastatin 10-80mg – Pravastatin 10-40mg – Fluvastatin 20-80mg – Atorvastatin 1 0 – 8 0 m g ♦ Golongan bile acid sequestrant. – Kolestiramin 4 – 16 g •
Golongan nicotinic acid: – Nicotinic acid (immediate release) 2 x 100 mg s.d. 1,5 – 3 g Target Kolesterol LDL (mg/dL) : Target Kadar LDL Kategori LDL untuk mulai PGH Risiko 100 PJK atau Ekivalen PJK ( : opsional) (FRS > 20 %) 130 Faktor risiko > 2 (FRS 160 Faktor risiko Kadar LDL untuk mulai terapi farmakologis 130 >130 (FRS 10-20% ( : opsional) >190 ( : opsional)

Terapi hiperkolesterolemia untuk
pencegahan primer, dimulai dengan statin atau bile acid sequestrant atau nicotinic acid. Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan. Bila setelah 6 minggu terapi, target belum tercapai; intensifkan/ naikkan dosis statin atau kombinasi dengan yang lain. Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan, 28

Metabolik Endokrinobgi

Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL > 100 mg/dL. Pasien dengan hipertrigliseridemia: • Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas. • Penatalaksanaaan farmakologis:

Target terapi: – Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi: tujuan utama terapi adalah mencapai target kolesterol LDL. – Pasien dengan trigliserida tinggi: target sekunder
adalah kadar kolesterol non-HDL, yakni sebesar 30 mg/dL lebih tinggi dari target kadar kolesterol LDL (lihat tabel di atas). – Pendekatan terapi obat: 1. Obat penurun kadar kolesterol LDL, atau 2. Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid. Golongan fibrat terdiri dari: • Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg • Fenofibrat 1 x 200 mg Penyebab primer dari dislipidemia sekunder Juga hams ditatalaksana.

KOMPLIKASI Aterosklerosis, penyakit jantung koroner, strok, pankreatitis akut

PROGNOSIS Dubia ad Bonam

WEWE NANG • •

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan peserta PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Metabolik Endokrinologi / Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

• •

RS pendidikan: Divisi Kardiologi, Departemen Patologi Klinik, Gizi RS non pendidikan:
Bagian Patologi Klinik, Gizi

REFERENSI 1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pa da Diabetes Melitus di Indonesia. 1995. 2.

Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment o f High Blood Cholesterol in Adults. Executive Summary o f the Third Report o f the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment o f High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel 111). JAMA, May 16, 2001;285(19): .

29
Panduan Pelayanan Medik PAPDI 3. Semiardji G National Cholesterol Education Program – Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III): Adakah hal yang baru? Makalah Slang Klinik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, 2002. 4. Ginsberg HN, Goldberg IJ. Disorders of Lipoprotein Metabolism. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison s Principles of Internal Medicine. 15’� ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p. . 5. Suyono S. Terapi Dislipidemia,
Bagaimana Memilihnya dan Sampai Kapan? Prosiding Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta,11-12 November 2000:185-99. MetaboUk Endokrindogi

STRUMA NODOSA NON TOKSIK PENGERTIAN Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.Berdasarkan jumlah nodul, dibagi: • Struma mononodosa non toksik • Struma multinodosa non toksik Berdasarkan kemampuan menangkap iodium
radioaktif, nodul dibedakan menjadi: nodul dingin, nodul hangat, nodul panas Sedangkan berdasarkan konsistensinya, nodul dibedakan menjadi; nodul lunak, odul kistik, nodul keras, nodul sangat keras

DIAGNOSIS Anamnesis: • Sejak kapan benjolan timbul

• • •

Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap Cara membesamya: cepat, atau lambat Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja

• • • • • •

Riwayat keluarga Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda Perubahan suara Gangguan menelan, sesak napas Penurunan berat badan Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan fisik: • Umum • Lokal: – Nodul tunggal atau majemuk, atau difus – Nyeri tekan – Konsistensi – Permukaan – Perlekatan pada j aringan sekitamya – Pendesakan atau pendorongan trakea – Pembesaran kelenjar getah bening regional

Pemberton � sign

Penilaian risiko keganasan; Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid: • Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difiisa jinak

Panduan Pelayanan Medik PAPDI • • • • • Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun. Gejala hipo atau hipertiroidisme. Nyeri berhubungan dengan nodul. Nodul lunak, mudah digerakkan. Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid: • Umur 70 tahun • Gender laki-laki • Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan napas • Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu – bulan) • Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa Quga meningakatkan insiden penyakit nodul tiroidjinak) • Riwayat keluarga kanker tiroid meduler • Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan •
Paralisis pita suara, • Temuan limfadenopati servikal • Metastasis jauh (paru-paru, dll) LangkahdiagnostikI: TSHs, FT4

Hasil; Non-toksik —> Langkah dia��ostik II: BAJAH nodul liroid Hasil: A. Ganas B. Curiga C. Jinak D. Tak cukup/sediaan tak representatif(dilanjutkan di kolom Terapi)

DIAGNOSISI BANDING

Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin saat masa pertumbuhan, pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan, menopause, infeksi, stres
lain. Tiroiditis akut Tiroiditis subakut Tiroiditis kronis: limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif (Riedel) Simple goiter Struma endemik Kista tiroid, kista degenerasi Adenoma Karsinoma tiroid primer, metastatik Limfoma

PEMERIKSAAN! P E NUNJANG Laboratorium: T4 atau fT4, T3, dan TSHs Biosi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid: – Bila hasil laboratorium: non-toksik – Bilahasillab. (awal) toksik, tetapi hasil scan: menjadi eutiroid, 32

• •

syarat:
sudah

Metabolik EndokmiolDgi

USGtiroid; – Pemantau kasus nodul yang tidak dioperasi – Pemandu pada BAJAH Sidik tiroid: – Bila klinis: ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2 kali): jinak, – Hasil sitologi dengan BAJAH: curiga ganas Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid medular, diperiksakan kalsitonin) Pemeriksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga penyakit Hashimoto.

TERAPI Sesuai hasil BAJAH, maka terapi: A- Ganas —>
Operasi Tiroidektomi near-total B, Curiga —> Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC): Bila hasil = ganas —> Operasi Tiroidektomi near-total. Bila hasil = jinak—> Operasi Lobektomi, atau Tuo\dQVXom\ near-total. —� Altematif: Sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule —> Operasi C. Tak cukup/sediaan tak representatif • Jika nodul Solid (saat BAJAH): ulang BAJAH. Bila klinis curiga ganas tinggi —> Operasi Lobektomi

Bila klinis curiga ganas rendah Observasi Jika
nodul Kistik (saat BAJAH): aspirasi. Bilakistaregresi —> Observasi Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah —> Observasi Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi —> Operasi Lobektomi D. Jinak —> terapi dengan Levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis. • dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari), • dilanjutkan 3 x 25 ug (3 4 hari), • bila tidak ada efeksamping atau tandatoksis: dosis- menjadi2x lOOug sampai 4 – 6 minggu, kemudian evaluasi TSH (target 0,1 – 0,3 ulU/L) • supresi
TSH dipertahankan selama 6 bulan • evaluasi dengan USG: apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasil bila mengecil > 50% dari volume awal) – Bila nodul mengecil atau tetap —> L-tiroksin dihentikan dan diobservasi: – Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi (target TSH 0,1-0,3 uIU/L). – Bila setelah l-tiroksin dihentikan, struma tidak berubah, diobservasi saja. – Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi —> obat dihentikan dan operasi
Tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi —> hasil PA: – Jinak: terapi dengan L-tiroksin: target TSH 0,5-3,0 uIU/L – Ganas: terapi dengan L-tiroksin – Individu dengan risiko ganas tinggi: •

Panduan Pelayanan Medik PAPDI – target TSH

KOMPLIKASI Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut / subakut

PROGNOSIS Tergantung jenis nodul, tipe
histopatologis.

WEWE NANG • •

RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

• •

RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Radiologi / Radiodiagnostik/ Kedokteran nuklir, Bedah Tumor, Patologi Anatomik RS
non pendidikan: Bagian Radiologi, Bedah, Patologi klinik, Patologi Anatomik

R E FE R E N S I I. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. In: Waspadji S, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p. . 2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy S, Setiati S, Gani RA, Alwi I, eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam; }997.p. 207J3. 3.
Subekti I Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, GaniRA, MansjoerA ,eds. PedomanDiagnosis dan TerapidiBidangllmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.187-9. 4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. 5. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15’� ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p. . Metabolik Endokrinologi

KISTA TIROID PENGERTIAN Kista tiroid adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10 – 25% dari seluruh nodul tiroid.Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan nodul solid. Pada nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan. Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid.

DIAGNOSIS Anamnesis •
Sejakkapanbenjolantimbul • Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap • Cara membesamya: cepat, atau lambat • Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja • Riwayat keluarga • Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda • Perubahan suara • Gangguan menelan • Sesak napas • Penurunan berat badan

Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan fisik: • Umum • Lokal: Nodus tunggal atau majemuk, atau
difus – Nyeri tekan – Konsistensi: kistik Permukaan – Perlekatan pada jaringan sekitamya – Pendesakan atau pendoiongan trakea – Pembesaran kelenjar getah bening regional – Pemberton’s sign Penilaian risiko keganai�an: Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid: • Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difiisa jinak • Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun.
• Gejala hipotiroidisme atau hipertiroidisme. • Nyeri berhubungan dengan nodul. • Nodul lunak, mudah digerakkan. • Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.

Panduan Pelayanan Medik PAPDI Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid: • Umur 70 tahun • Gender laki-laki • Nodul disertai disfagia, serak, atau obstruksi jalan napas • Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu bulan) • Riwayat
radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa meningkatkan insidens penyakit nodul tiroid jinak) • Riwayat keluarga kanker tiroid modular • Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkanParalisis pita suara, • Temuan limfadenopati servikal • Metastasis jauh (paru-paru, dll) Langkahdiagnostikawal: TSHs, FT4 BilaHasil :Nontoksik � Langkah diagnostik II: —> Pungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid

DIAGNOSIS BANDING Kista tiroid,
kista degenerasi, karsinoma tiroid

PEMERIKSAAN PENUNJANG •

USG tiroid:

dapat membedakan bagian padat dan cair, – dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid. = gambaran USG kista kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dinding tipis. Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin. Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH): pada bagian yang solid.

• •

TERAPI Pungsi aspirasi seluruh cairan kista: • Bila kista regresi —> Observasi • Bila kista
rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah —> pungsi aspirasi dan observasi • Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas tinggi operasi lobektomi

KOMPLIKASI Tidak ada.

PROGNOSIS Dubia ad bonam, tergantung tipe dan jenis histopatologinya. Metabolik Endokrinologi

WEWENANG • •

RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS
pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Metabolik Endokrinologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

• •

RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah tumor RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah

REFERENSI Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p. . 2. Suyono S. Pendekatan Pasien
dertgan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, EffendyS, SetiatiS, GaniRA, Alwileditors. NaskahLengkapPertemuanllmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta:Departemen Ilmu Penyakit Dalam; 1997.p. . 3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I. Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A,editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 187-9. 4. Soebardi S.
Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. 1. .2 KARDIOLOGI

K�diologi

BRADIARITMIA PENGERTIAN Bradiaritmia adalahperlambatan denyut jantung di bawah 50 kali/menit yang dapat disebabkan oleh disfungsi sinus node, hipersensitivitas/ kelainan sistem persarafan dengan dan atau adanya gangguan konduksi atrioventrikular. Dua keadaan yang sering ditemukan:

1. 2.

Gangguan pada sitms node (sick
sinus syndrome) Gangguan konduksi atrioventrikular/blokAV AVblock) :blokAVderajatsatu, blokAVderajatdua, blokAV total.

DIAGNOSIS Gangguan pada sinus node sick sinus syndrome) Keluhan: • Penurunan curah jantung yang bermanifestasi dalam bentuk letih, pening, limbung, pingsan • Kongesti pulmonal dalam bentuk sesak napas • Bila disertai takikardia disebut braditakiaritmia; terdapat palpitasi, kadang-kadang disertai angina pektoris atau sinkop (pingsan) • Dapat pula menyebabkan
kelainan/perubahan kepribadian, lupa ingatan, dan emboli sistemik EKG: • EKG monitoring baik selama dirawat inap di RS maupun dalam perawatan jalan (ambulatory/holter ECG monitoring), dapat menemukan kelainan EKG berupa bradikardia sinus persisten. BlokAV • BlokAV Derajat Satu Irama teratur dengan perpanjangan interval PR melebih 0,2 detik

I -�lok AV Derajat dua

Mobitz tipe I Wenckebach)� Gelombang P bentuk normal dan irama atrium yang teratur, pemanjangan PR secara progresif lalu
terdapat gelombang P yang tidak dihantarkan, sehingga terlihat interval RR memendek dan kemudian siklus t�rsebutberulang kembali

Mobitz tipe II, Irama atrium teratur dengan gelombang P normal. Setiap gelombang P diikuti gelombang QRS kecuali yang tidak dihantarkan dan bisa lebih dari 1 gelombang P berturut-turut yang tidak dihantarkan. Irama QRS bisa teratur atau tidak teratur tergantung pada denyut yang tidak dihantarkan. Kompleks QRS bisa sempit bila hambatan teijadi pada
berkas his, namun bisa lebar seperti pada blok cabang berkas bila hambatan ini pada cabang berkas Panduan Pelayanan Medik PAPDI •

BlokAV Total Comply A\�Block): terjadi hambatan total konduksi antara atrium dan ventrikel. Atrium dan ventrikel masing-masing mempunyai frekuensi sendiri (frekuensi ventrikel

DIAGNOSIS I
BANDING

PEMERIKSAAN PENUNJANG •

EKG 12 sadapan, Rekaman EKG 24 jam (Holler ECG Monitor), Ekokardiografi, Angiografi koroner, Pemeriksaan elektrofisiologi (Electrophysiology Study)

TERAPI Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome) Pada keadaan gawat darurat berikan sulfas atropin (SA) 0,5-1 mg IV (total (0,04 mg/ kgBB) jika tidak tidak ada respons berikan drip isoproterenol mulai dengan dosis 1 ug/menit sampai 10 ug/kg /menit secara bertahap. Kemudian lanjutkan dengan
pemasangan pacu jantung, sesuai dengan sarana yang tersedia (transcutaneus temporary pace mak er dan tran sv enous te mporar y p a c e maker). Pada penatalaksanaan selanjutnya dilakukan pemasangan pacu jantung permanen. BlokAV Pengobatan hanya diberikan pada penderita yang simtomatik. Walaupun demikian etiologi penyakit dan riwayat alamiah penyakit ikut menentukan tindakan selanjutnya. Bila penyebabnya obat-obatan maka harus dihentikan. Demikian pula bila penyebabnya oleh karena faktor metabolik
yang reversibel maka faktor-faktor tersebut juga harus dihilangkan (seperti hipotiroidisme, asidosis, gangguan elektrolit dan sebagainya). Bila penyebab yang mendasarinya diketahui dan bila hal itu bersifat sementara, maka mungkin hanya perlu diberikan pengobatan sementara (pacu jantung sementara) seperti halnya pada infark miokard akut inferior. Pada penderita yang simptomatik, perlu dipasang pacu jantung permanen. BlokAV total Pada keadaan gawat darurat (simptomatik/asimptomatik) berikan
sulfas atropin (SA) 0,5-1 mg IV (total 0,04 mg/kgBB), atau isoproterenol. Bila obat tidak menolong, pasang alat pacu jantung sementara, selanjutnya dilakukan pemasangan pacujantung permanen.

KOMPLIKASI Sinkop, tromboemboli bila disertai takikardia, gagal jantung.

PROGNOSIS Tergantung penyebab, berat gejala dan respons terapi 42

KaidiolDgL

WEWENANG • •

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen
Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam—Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Medical High Care / ICCU

RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik, ICCU

R E FE R E N S I /. Panggabean MM. Bradiaritmia. Dalam. In: Simadibraia M, Setiaii S, Alwi I,
Maryantoro, GaniRA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;1999.p. 161-5. 2. Karo KS. Disritmia. In: Rilantono LI, Baraas F, Kara KS, Roebiono PS, editors. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999. p. . 3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. In: SJaifoellah N, Wdspadji S, Rachman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid /, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;1996. p. .

Panduan Pelayanan Medik PAPDI EDEMA � R U J A KU T (KARDIAK) PENGERTIAN Edema paru akut (kardiak) adalah Akumulasi cairan di pam-paru secara tiba-tiba akibat peninggian tekanan intravaskular

DIAGNOSIS Riwayat sesak napas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau hari) disertai gelisah, batuk dengan sputum berbusa kemerahan

�emeriksaan flsik: • Sianosis
sentral • Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih • Ronki basah nyari di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru; kadang-kadang disertai ronki kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut asma kardial • Takikardia dengan gallop S3 • Murmur bila ada kelainan katup Elektrokardiografi • Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung • Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan Laboratorium • Analisi gas darah pO� rendah, pCO� mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia • Enzim kardiospesifik meningkat j ika penyebabnya infark miokard Foto toraks Opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian makin ke arah apeks paru kadangkadang timbul efusi pleura Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung; Kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), segmental wall motion abnormality (penyakit jantung koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi
ventrikel kiri dan atrium kiri

DIAGNOSIS BANDING Edema paru akut non kardiak, emboli paru, asma bronkial

PEMERIKSAAN P E NUNJANG Darah rutin, ureum, kreatinin, analisis gas darah, elektrolit, urinalisis, foto toraks, EKG, Enzimjantung (CK-CKMB, Troponin T), ekokardiografi transtorakal, angiografi koroner

44 Kardioloy

TERAPI 1. Posisi Vi duduk 2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: pasien makin sesak, takipnu, ronki bertambah,
Pa02 tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dangan 0 2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi C02, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator/bipep 3, Inflis emergens! 4. Monitor tekanan darah, monitor EKQ oksimetri bila ada 5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5
ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak

memberi respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital 6. Morfin sulfat: 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis 15 mg 7. Diuretik:
flirosemid mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/ jam 8. Bila perlu (tekanan darah turun/tanda hipoperfiisi): Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons klinis atau keduanya. 9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard 10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis
atau tidak berhasil dengan terapi oksigen 11. Atasi aritmia atau gangguan konduksi 12. Operasi pada komplikasi akut infarkjantung akut, seperti regurgitasi, VSD, dan ruptur dinding ventrikel atau korda tendinae.

KOMPLIKASI Gagal napas

PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respons terapi

WEWENANG • •

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis
Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Panduan Pelayanan Medik PAPDI

UNITTERKAIT

• •

RS pendidikan: ICCU, Departemen Anestesi, Bedah toraks RS non pendidikan: Bagian Anestesi, ICCU/ICU, Bedah

\

R E F E RE N S I Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. In: SimadibrataM,
SetiatiS, Alwil, Maryantoro, GaniRA, Mansjoer A, eds. PedomanDiagno¬ sis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. . Kardiologi

ENDOKARDITI�INFEKTIF PENGERTIAN Endokarditis’ infektif adalah Inflamasi pada endokard yang biasanya melibatkan katup dan jaringan sekitamya yang terkait dengan agen penyebab infeksi

DIAGNOSIS Kriteria Klinis Duke untuk Endokarditis Infektif (EI): EI definite:

Kriteria Patologis Mikroorganisme ; ditemukan dengan kultur atau histologi dalam vegetasi yang

mengalami emboli atau dalam suatu abses intrakardiak Lesi patologis : vegetasi atau terdapat abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan endokarditis aktif •

Kriteria klinis : menggunakan defmisi spesiflk, yaitu :Dua kriteria mayor atau satu mayor dan tiga kriteria minor atau lima kriteria minor Kriteria Mayor: 1, Kultur darah positif untuk
endokarditis Infektif (EI) A. Mikroorganisme khas konsisten untuk EI dari 2 kultur darah terpisah seperti tertulis di bawah ini: (i) Streptococci viridans, streptococcus bovis atau grup HACEK atau (ii) Community acquired Staphylococcus aureus atau enterococci tanpa ada fokus primer atau B. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah positif persisten didefinisikan sebagai: (i) > 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah > 12 jam atau (ii) Semua dari 3 atau mayoritas dari
> 4 kultur darah terpisah (dengan sample awal dan akhir diambil terpisah > 1 jam) 2. Bukti keterlibatan kardial A. Ekokardiografi positif untuk EI didefinisikan sebagai: (i) Massa intrakardiak oscilating pada katup atau struktur yang menyokong, di jalur aliran jet regurgitasi atau pada material yang diimplantasikan tanpa ada altematif anatomi yang dapat menerangkan, atau (ii) Abses, atau (iii) Tonjolan baru pada katup prostetik atau B. Regurgitasi valvular yang baru teijadi (memburuk atau
berubah dari murmur yang ada sebelumnya tidak cukup) Kriteria Minor: 1. Predisposisi: predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat intravena 2. Demam: suhu > 3 8�C Panduan Pelayanan Medik PAPDI Fenomena vaskular: emboli arteri besar, infark pulmonal septik, aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway. 4. Fenomena imunologis : glomerulonefritis. Osier’s nodes. Roth Spots, dan faktorreumatoid. 5. Bukti mikrobiologi: kultur darah
positiftetapi tidak memenuhi kriteria mayor seperti tertulis diatas atau bukti serologis infektif aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan EI 6. Temuan kardiografi: konsisten dengan EI tetapi tidak memenuhi kriteria seperti tertulis di atas 3.

EI possible Temuan konsisten dengan EI turun dari kriteria definite tetapi tidak memenuhi kriteria rejected E l Rejected Diagnosis altematif tidak memenuhi manifestasi endokardits atau resolusi

manifestasi endokarditis dengan terapi
antibiotik selama 4 hari

DIAGNOSIS BANDING Demam rematik akut dengan karditis, sepsis tuberkulosis milier, lupus eritematosus sistemik, glomerulonefritis pasca streptokokus, pielonefritis,poliarteritis nodosa, reaksi obat

PEMERIKSAAN P E NU NJ A NG Darah rutin, EKQ foto toraks, ekokardiografi, transesofageae ekokardiografl, kultur darah

TERAPI Prinsip terapi
adalah oksigenasi, cairan intravena yang cukup, antipiretik, antibiotika. Regimen yang dianjurkan (AHA) 1. Endokarditis katup asli karena Streptococcus viridans dan Str. Bovis : • Penisilin G kristal juta unit/24 jam ivkontinu atau 6 dosis terbagi selama 4 minggu atau seftriakson 2 g Ikali/hari iv atau im selam 4 minggu • Penisilin G kristal juta unit/24 jam iv kontinu atau 6 dosis terbagi selama 2 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 2 minggu
Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam kecuali kadar serum dipantau selama 4 minggu 2. Endokarditis katup asli karena Str. Viridans dan Str Bovis relatif resisten terhadap Penisilin G • Penisilin G kristal 18 juta unit/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 2 minggu • Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam
kecuali kadar serum dipantau selama 4 minggu • K�diologi 3.

Endokarditis karena Enterococci • Penisilin G kristal juta unit/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4-6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu • Ampisilin 12 g/24 jam/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4 – 6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu • Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam
iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam selama 4-6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu 4. Endokarditis karena Stafilokokus tanpa materi prostetik. a Regimen untuk Methicilin Succeptible Staphylococci – Nafsilin atau oksasilin 2 g IV tiap 4 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 3-5 hari b. Regimen untuk pasien alergi beta laktam

Cefazolin (atau
sefalosporin generasi I laian dalam dosis setara) 2 g iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah gentamisin sulfat Img/kgBB imatau iv tiap 8jam selama 3—5 hari Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam kecuali kadar serum dipantau selama 4-6 minggu

Operasi dilakukan bila Bakteremia yang menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat, gagal jantung kongestifyang tidak responsif terhadap terapi medis, vegetasi yang menetap
setelah emboli sistemik, dan ekstensi perivalvular

KOMPLIKASI Gagal jantung, emboli, aneurisma nekrotik, gangguan neurologi, perikarditis

PROGNOSIS Tergantung beratnya gejala dan komplikasi

WE WEN ANG •

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan: Departemen Penyakit Dalam –
Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Penyakit Dalam

Panduan Pelayanan Medik PAPDI

UNIT TERKAIT

• •

RS pendidikan: Departemen Bedah RS non pendidikan: Bagian Bedah

R E F E RE N S I Alwi /. Diagnosis dan Penatalaksanaan Endokarditis Infektifpada Penyalah guna Obat Intravena. In: SetiatiS, Sudoyo AW, Alwi I, Bawazier LA, Soejono CH, LydiaA, etal, editors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Umu Penyakit Dalam 2000. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Umu Penyakit Dalam FKUI;2000. p. Kaidiologi

�IBRILASI ATRIAL PENGERTIAN FIBRILASl ATRIAL (FA) adalah Adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang “P” dengan frekuensi antara permenit.

DIAGNOSIS Gambaran EKG berupa adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang “P” dengan frekuensi antara per menit Klasifikasi FA Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari: 1. Primer : bila tidak
ditemukan kelainan struktur jantung dan kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia. 2. Sekunder : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi ada kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia

Klasifikasi FA berdasarkan waktu timbulnya Fibrilasi atrial (FA) serta kemungkinan keberhasilan usaha konversi ke irama sinus : 1. Paroksismal, bila FA berlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan sendirinya tanpa intervensi pengobatan atau tindakan apapun 2 Persisten, bila FA
menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan intervensi pengobatan atau tindakan. 3. Pennanen bila FAberlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi pengobatan AF tetap tidak berubah FA dapat pula dibagi menjadi: 1. FAAkut, bila timbul kurang dari 48 jam 2 FA Kronik, bila timbul lebih dari 48 jam

PEMERIKSAAN PENUNJANG

• • •

EKG bila perlu gunakan Holter Monitoring pada pasien AF paroksismal. Foto toraks, ekokardiografi untuk mengetahui adanya penyakit primer
Pemeriksaan elektrofisiologi tidak diperlukan kecuali untuk kepentingan akademik

TERAPI Fibrilasi Atrial Paroksismal 1. Bila asimptomatik, tidak diberikan obat antiaritmia, hanya diberi penerangan saja. 2 Bila menimbulkan keluhan yang memerlukan pengobatan dan tanpa kelainan jantung atau disertai kelainan jantung minimal dapat diberi obat penyekat beta atau obat antiaritmia kelas IC seperti propafenon atau flekainid. 3. Bila obat tersebut tidak berhasil, dapat diberikan amiodaron. 4. Bila
dengan obat-obat itu juga tidak berhasil, dipertimbangkan terapi ablasi atau obat-obat antiaritmia lain. 5. Bila disertai kelainan jantung yang signifikan, amidaron mempakan obat pilihan.

Panduan Pelayanan Medik PAPDI Fibrilasi atrial persisten 1. Bila FA tidak kembali ke irama sinus secara spontan kurang dari 48 jam, perlu dilakukan kardioversi ke irama sinus dengan obat-obatan (farmakologis) atau elektrik tanpa pemberian antikoagulan sebelumnya. Setelah kardioversi
diberikan obat antikoagulan paling sedikit selama 4 minggu. Obat antiaritmia yang dianjurkan kelas IC (propafenon dan flekainid) 2. Bila FA lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya maka pasien diberi obat antikoagulan secara oral paling sedikit 3 minggu sebelum dilakukan kardioversi farmakologis atau elektrik. Selama periode tersebut dapat diberikan obat-obat seperti digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium untuk mengontrol laju irama ventrikel. Altematif lain pada pasien tersebut
dapat diberikan heparin dan dilakukan pemeriksaan TEE untuk menyingkirkan adanya trombus kardiak sebelum kardioversi. 3. Pada FApersisten episode pertama, setelah dilakukan kardioversi tidak diberikan obat antiaritmia profilaksis. Bila terjadi relaps dan perlu kardioversi pada pasien ini dapat diberikan antiaritmia profilaksis dengan penyekat beta, golongan kelas IC (propafenon, flekainid), sotalol atau amiodaron.

Fibrilasi Arial Permanen 1. Kardioversi tidak efektif 2. Kontrol laju
ventrikel dengan digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium. 3. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan ablasi nodus AV atau pemasangan

4.

pacu jantung permanen. FA resisten, perlu pemberian antitromboemboli

KOMPLIKASI Emboli, strok, trombus intrakardiak

PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

WE WENANG • •

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit
Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT • •

RS pendidikan: Departemen Bedah toraks, ICCU, Anestesi RS non pendidikan : ICCU, Departemen Anestesi, Bedah Kardiobgi REFERENSI 1. IsmailD. FibrilasiAtrial: AspekPencegahan TerjadinyaStrok. In: SetiatiS, SudoyoAW, Alwil, Bawazier LA,
Kasjmir Y, MansjoerA, editors. Naskah Lengkap Perfemuart Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2001. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000. p. . Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, editors.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI; 1999. p. . 3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. In: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rachman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta; Balai Penerbit FKUI; 1996. p. . 4. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: SimadibrataM, SetiatiS, Alwil, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 1999. p. .

Panduan Pelayanan Medik PAPDI

GAGAL JANTUNG KRONIK P E N G E RTI A N Gagal jantung kronik merupakan Sindrom klinis yang kompleks
akibat kelainan fungsi atau struktural jantung yang mengganggu kemampuan jantung untuk berfungsi sebagai pompa

DIAGNOSIS Anamnesis : Dispnea d’ effort’, orthopnea’, paroxysmal nocturnal dispnea’, lemas; anoreksia dan mual; gangguan mental pada usia tua Pemeriksaan Fisik: Takikardia, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan/ekstensi venajugularis , refluks hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegali, ronkhi basah halus di basal paru, dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal
jantung berat, edema pretibial pada pasien yang rawat jalan, edema sakral pada pasien tirah baring. Efusi pleura, lebih sering pada paru kanan daripada paru kiri. Asites sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan perikarditis konstriktif, hepatomegali, nyeri tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dangan hipertensi vena sistemik, ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin, ekstremitas dingin, pucat dan berkeringat.

KRITERIA
DIAGNOSIS Kriteria Framingham : Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor Kriteria Mayor • Paroxysmal nocturnal dispnea • Distensi vena-vena leher • Peningkatan vena jugularis • Ronki • Kardiomegali • Edema paru akut • Gallop bunyi jantung III • Refluks hepatojugular positif

Kriteria Minor Edema ekstremitas • Batukmalam • Sesak pada aktivitas • Hepatomegali • Efusi pleura • Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal • Takikardia (>120
denyut per menit)

Mayor atau minor Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari terapi

DIAGNOSIS BANDING

• • •

Penyakit paru : pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat misalnyaARDS, emboli paru Penyakit ginjal: gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik Penyakit hati: sirosis hepatis

54 K�diologi

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Penunjang • Foto rontgen dada : Pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan redistribusinya ke apeks paru
(opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks) , peningkatan tekanan vaskular pulmonar, kadang-kadang ditemukan ellisi pleura. • Elektrokardiografi :Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofl, dan Iain-lain) Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, dan Iain-lain Laboratoratoiium • Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin, tes fungsi tiroid, tes fungsi hati, dan lipid darah • Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau
glukosuria. Ekokardiografi Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur jantung, katup dan perikard.Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah

TERAPI Non farmakologi •
Anjuranumum: a. b.

Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan Aktivitas sosial dan pekeijaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan c. Gagal jantung berat hams menghindari penerbangan panjang d. Vaksinasi terhadap infeksi influensa dan pneumokokus bila mampu e. Kontrasepsi dengan lUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan hormon dosis rendah masih dapat dianjurkan.

Tindakan umum: a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan. b. Hentikan rokok c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi g/hari pada yang lainnya d. Aktivitas fisik (latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama menit atau sepeda statis 5 kali/ minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung
ringan dan sedang) e. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut

Farmakologi a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena

Panduan Pelayanan Medik PAPDI

b.

c.

d. e. f jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat
dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu
sampai dosis yang efektif. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoproloL Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik. Angiotensin II antagonis reseptor dapat diguna kan bila ada kontraindikasi
penggunaan penghambat ACE Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal j antung disfungsi

sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, penghambat ACE, penyekat beta. g. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan em¬ boli serebral pada penderita dengan
fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel. h. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I hams dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III temtama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia
atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak, L Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.

KOMPLIKASI Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit

PROGNOSIS Tergantung klas fiingsionalnya

WEWENANG • •

RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

56 Kardiologi

UNIT
YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

• •

RS pendidikan : ICCU / medical High Care RS non pendidikan; ICCU / ICU

REFERENSI 1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal JantungAkut dan Gagal Jantung Kronik. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maiyantoro , Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;I999.p. . 2. A CC/AHA. ACC/AHA Guidelinesfor the Evaluation and Management of Chronic Heart Failure in Adult: Executive Summary. A Report o f The American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines for the Evaluation and Management o f Heart Failure). Circulation 2001; 104: .

Panduan Pelayanan Medik PAPDI TAKIKARDIA ATRIAL PAROKSISMAL PENGERTIAN Takikardia atrial paroksismal adalah takikardia yang teijadi karena perangsangan yang berasal dari AV node di mana sebagian rangsangan antegrad ke ventrikel sebagian ke atrium

DIAGNOSIS Gelombang P dapat negatif di depan kompleks QRS, terletak di belakang kompleks QRS atau sama sekali tidak ada karena berada dalam kompleks QRS.Jarak R-R teraturKompleks QRS langsing, kecuali pada rate ascendent aberrant conduction

PEMERIKSAAN PENUNJANG

• • • • •

EKG 12 sandapan Rekaman EKG 24jam Pemeriksaan Elektrofisiologi Ekokardiografi Angiografi koroner

TEE (Transesofageal Echocardiografi)

TERAPI Manipulasi saraf autonom dengan manuver valsava, eye ballpressure� pemijitan sinus karotikus dan sebagainya 2. Pemberian obat yang menyekat node AV a. Adenosin atau adenosin Tri Phosphate (ATP) IV. Obat ini harus diberikan secara intrvena dan cepat (flush) b. Verapamil intravena c. Obat penyekat beta d. Digitalisasi
Pilihan utama adalah ATP dan verapamil. 3. Bila sering berulang dapat dilakukan ablasi dengan terlebih dahulu EPS untuk menentukan lokasi bypass tract atau ICD Defibrillator Intra Cardial) 1.

KOMPLIKASI Emboli, kematian mendadak

PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

WEWENANG • •

RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi kepada dokter konsulen Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Kardiobgi

UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Kardiologi RS non pendidikan: Bagian l