zenduck.me: Ziarah Uskup Surabaya di Tanah Suci


Untung99 menawarkan beragam permainan yang menarik, termasuk slot online, poker, roulette, blackjack, dan taruhan olahraga langsung. Dengan koleksi permainan yang lengkap dan terus diperbarui, pemain memiliki banyak pilihan untuk menjaga kegembiraan mereka. Selain itu, Untung99 juga menyediakan bonus dan promosi menarik yang meningkatkan peluang kemenangan dan memberikan nilai tambah kepada pemain.

Berikut adalah artikel atau berita tentang Harian zenduck.me dengan judul zenduck.me: Ziarah Uskup Surabaya di Tanah Suci yang telah tayang di zenduck.me terimakasih telah menyimak. Bila ada masukan atau komplain mengenai artikel berikut silahkan hubungi email kami di [email protected], Terimakasih.

Uskup V. Sutikno Wisaksono tiba di Betlehem

Di awal tahun 2015, tepatnya tanggal 22 Februari – 5 Maret, Uskup Surabaya Yang Mulia Vincentius Sutikno Wisaksono berziarah ke Tanah Suci. Uskup Sutikno yang didampingi Vikaris Yudisialnya, Romo Antonius Padua Dwi Joko, memimpin rombongan 90 peziarah yang terbagi dalam dua kelompok. Ikut pula dalam rombongan ini dua orang biarawati Putri Karmel, Sr. Petra PKarm dan Sr. Clara PKarm. Berikut adalah cerita tentang perjalanannya, yang ditulis Albert Wibisono, Magister Caeremoniarum yang melayani ziarah ini. Semoga tulisan panjang ini, berikut foto-foto dan link-link-nya, dapat membawa pembaca untuk turut berziarah batin ke Tanah Suci.

Magister Caeremoniarum? Apa itu? Magister Caeremoniarum atau MC (Liturgi) adalah Pemandu Upacara Liturgi yang melayani uskup dan imam dalam acara-acara liturgi. Pekerjaan MC Liturgi mirip dengan EO alias Event Organizer, hanya yang ini khusus mengurusi event-event liturgi. Lebih jauh tentang MC Liturgi dapat dibaca dalam artikel di link ini. Dalam tradisi Gereja Katolik, seorang uskup biasa memiliki MC Liturgi. Buku Caeremoniale Episcoporum atau Tata Upacara Para Uskup menyebutkan bahwa MC bertugas menyiapkan dan mengatur segala sesuatunya agar upacara liturgi yang dipimpin dan/atau dihadiri oleh uskup dapat berjalan dengan benar sesuai aturan-aturan liturgi, khidmat dan agung serta indah. Albert Wibisono adalah MC Liturgi independen, yang sejak 2007 telah melayani berbagai upacara liturgi yang dipimpin imam-imam dan uskup-uskup, termasuk Nunsius Apostolik atau Dubes Vatikan di Indonesia. Albert yang juga pernah melayani Uskup Sutikno berziarah ke Roma pada tahun 2007 diminta oleh tour operator untuk melayani Uskup Sutikno dan Romo Dwi Joko dalam ziarah ini.

Ziarah Uskup Surabaya kali ini diatur oleh Seven World Tours, dengan tour leader Fifi Lukito dan Cherly Lina, yang masing-masing memimpin 46 dan 44 orang dalam kelompoknya. Uskup Sutikno dan Romo DJ, demikian Romo Dwi Joko biasa dipanggil, secara bergantian bergabung dengan kelompok pertama atau kedua; dengan demikian, kedua kelompok sama-sama memperoleh kesempatan untuk bersama dengan Uskup. Umat yang bergabung dalam ziarah ini berasal dari berbagai paroki di Keuskupan Surabaya, dari Katedral sampai St. Marinus Yohanes Kenjeran. Ada juga rombongan umat dari St. Maria Gresik dan St. Maria Annuntiata Sidoarjo. Selain itu, ada juga beberapa umat dari luar Keuskupan Surabaya, termasuk sepasang suami istri dari Papua, yang ikut bersama anak-anaknya yang tinggal di Surabaya.

Rombongan berangkat dari Surabaya ke Jakarta dengan pesawat Garuda, sebelum menumpang Qatar Airways menuju ke Kairo dengan transit di Doha, Qatar. Seluruhnya ada empat negara yang dikunjungi: Mesir, Israel, Palestina, dan Yordania.

Gereja St. Simon (Foto: Nick A – flickr.com)

Mendarat di Kairo hampir tengah hari, kami makan siang di sebuah restoran Cina di tepi Sungai Nil, sebelum menuju ke Gereja St. Simon the Tanner. Gereja ini terletak di ruang terbuka yang luas di Bukit Mokattam di pinggiran kota Kairo. St. Simon adalah seorang penyamak kulit-pembuat sepatu yang sederhana dan saleh, yang hidup di akhir abad ke-10. Ialah yang diberi Tuhan kemampuan untuk membuat mukjizat, memindahkan Bukit Mokattam dan menyelamatkan umat Kristiani di Mesir dari ancaman pembantaian oleh Kalifah al-Muizz. Simon melakukannya atas permintaan Paus Orthodox Koptik Abraham, yang ditantang Kalifah al-Muizz untuk membuktikan imannya dan memindahkan gunung, sesuai Mat 17:20 yang dikutip sang kalifah, “… sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, –maka gunung ini akan pindah …” Cerita tentang St. Simon Penyamak Kulit dan mukjizat ini dapat dibaca di link berikut ini. Hari pertama ditutup dengan kunjungan ke tempat pembuatan lukisan di atas papyrus, kertas dari tanaman khas Mesir yang dapat bertahan berabad-abad.

Eksterior Gereja Gantung
(Foto: tourisminegypto.blogspot.com)
Interior Gereja Gantung
(Foto: tourisminegypto.blogspot.com)

Hari kedua dimulai dengan kunjungan singkat ke Perfume Institute dan Piramid Giza yang tidak jauh jaraknya dari hotel. Berikutnya, rombongan berkunjung ke Abu Serga, salah satu gereja tertua di Mesir. Gereja ini mulai dibangun pada abad ke-4, di atas sebuah gua yang diyakini merupakan tempat tinggal keluarga kudus waktu mengungsi ke Mesir. Gereja kecil yang didedikasikan bagi St. Sergius dan Bacchus ini sungguh indah. Di sampingnya kita juga dapat melihat sumur tempat keluarga kudus mengambil air. Dari Abu Serga, Uskup dan rombongan berjalan kaki menuju Gereja Gantung–disebut demikian karena ia dibangun di atas pilar-pilar bekas benteng tentara Romawi, sehingga posisinya seperti bergantung di atas tanah. Gereja Ortodoks Koptik St. Perawan Maria ini merupakan salah satu gereja terpenting Ortodoks Koptik. Di kompleks gereja ini tinggal Paus Ortodoks Koptik Tawadros II, yang tahun 2013 yang lalu mengunjungi Paus Franciscus di Vatikan.

Paus Tawadros II bersama Paus Franciscus di Vatikan, 2013. (Foto: Corbis)

Di dekat kompleks Abu Serga dan Gereja Gantung ini ada juga sebuah tempat ibadat Yahudi yang sudah tidak dipakai lagi, Sinagoga Ben Ezra namanya. Kami pun mampir ke sana. Menurut tradisi setempat, sinagoga kecil ini dibangun di atas lokasi di mana bayi Musa ditemukan oleh Putri Firaun (bdk. Kel 2:1-10).

Usai berkunjung ke tiga obyek berdekatan ini, rombongan kemudian makan siang dan meneruskan perjalanan ke Gunung Sinai, melewati beberapa obyek yang menarik. Pertama-tama, yang dilewati adalah terowongan bawah laut menembus Terusan Suez. Setelah melewati Terusan Suez, rombongan tiba di Mara. Di tempat ini, dahulu Musa pernah membuat mukjizat bagi bangsa Israel yang baru lepas dari cengkeraman Firaun, dan dengan bantuan Allah menyeberangi Laut Merah yang terbelah. Di tengah padang gurun ini ada sumur, yang air pahitnya diubah menjadi manis oleh Musa dengan bantuan Allah. Tidak lama berhenti, melihat-lihat, dan berdoa di Mara, rombongan kemudian meneruskan perjalanan mengikuti rute yang dilalui bangsa Israel, dan tiba di Elim. Di Elim, masih di tengah padang gurun ini, ada 12 mata air dan 70 pohon kurma. Bangsa Israel pernah beristirahat dan berkemah di dekat mata air ini (bdk. Kel 15:22-27).

Elim (Foto: Jordan Rodriguez – Pinterest)

Perjalanan naik bus menembus padang gurun ini sungguh lama dan melelahkan. Sayangnya, jalan pintas yang lebih singkat ditutup saat itu, dan kami pun terpaksa memutar lebih jauh. Sungguh tidak terbayangkan bagaimana orang-orang Israel dahulu pernah berjalan kaki melewati padang gurun ini untuk menuju Tanah Terjanji. Hari sudah lewat tengah malam ketika rombongan berhasil mencapai tempat makan malam di Sharm el-Sheikh, sebuah kota di ujung selatan Semenanjung Sinai, di tepi Laut Merah.

Makan tengah malam di Sharm el-Sheikh terasa sungguh nikmat, setelah perjalanan hampir 12 jam membelah gurun di malam buta. Masih ada beberapa jam lagi untuk mencapai tempat menginap di St. Catherine, di kaki Gunung Sinai. Rencana menuju St. Catherine dan menginap di sana akhirnya terpaksa dibatalkan, karena waktu yang tidak memungkinkan. Rombongan kemudian memutuskan menginap di Dahab, di sebuah resor tepi pantai yang indah.

Jarum jam sudah menunjukkan angka tiga lewat tengah malam ketika kami tiba di hotel untuk beristirahat. Sungguhpun begitu, beberapa anggota rombongan tetap ingin pergi ke puncak Gunung Sinai, tempat Musa menerima Sepuluh Perintah Allah. Mereka ini hanya sempat meletakkan tas di kamar dan kemudian harus berangkat lagi. Karena waktu yang sungguh tidak memungkinkan, mereka ini akhirnya hanya sempat mencapai pos pertama dan tetap tidak bisa sampai ke puncak.

Jebel Musa, Puncak Gunung Sinai, dan Biara St. Catherine di kakinya (Foto: Corbis)

Pagi harinya, untuk pertama kalinya dalam perjalanan ziarah ini, kami bisa menyelenggarakan Misa, meski dengan segala keterbatasan. Selama dua hari sebelumnya, situasi dan kondisi di Mesir memang tidak memungkinkan kami untuk mengadakan Misa. Mengenakan alba dan kasula ungu yang dibawa dari Surabaya, Uskup Sutikno bersama Romo DJ mempersembahkan Misa ini. Homili dari Uskup sungguh meneguhkan hati umat untuk selalu bersyukur dan menghayati perjalanan ziarah ini.

Usai Misa dan makan pagi, perjalanan naik bus dilanjutkan untuk mencapai perbatasan Mesir-Israel di Taba. Terasa benar bedanya saat kami memasuki wilayah Israel. Pemandangan yang berbeda, dan jalan serta infrastruktur yang lebih memadai kami saksikan sepanjang perjalanan, dengan bus baru dari Israel yang lebih nyaman pula. Matahari sudah terbenam ketika kami tiba di Yerusalem dan menuju hotel untuk beristirahat. Saat makan malam di hotel, kami bertemu dua rombongan peziarah lain dari Indonesia. Pembicaraan dalam Bahasa Indonesia memenuhi tempat makan berkapasitas lima ratusan orang itu.

Misa di Basilika Kelahiran Yesus

Hari pertama di Tanah Suci dimulai dengan kunjungan ke Betlehem. Rombongan tiba di Nativity Church, yang dibangun di lokasi tempat kelahiran Yesus, dan langsung memasuki Gereja St. Catherine di sebelahnya untuk Misa. Gereja ini tidak terlalu besar, mungkin hanya bisa menampung dua ratusan umat. Meski begitu, Sakristi atau ruangan tempat imam mempersiapkan Misanya besar sekali, mungkin sekitar 15 x 8 meteran ukurannya. Uskup dan Romo DJ disambut di Sakristi oleh seorang imam Fransiskan yang bertanggung jawab atas basilika ini. Dibantu MC, Uskup dan Romo DJ berganti busana liturgi dan kemudian menuju ke altar untuk memulai Ekaristi di tempat nan suci ini.

Misa di Basilika Kelahiran Yesus
Romo Dwi Joko bersama umat

Usai Misa, sementara MC membereskan berbagai busana dan perlengkapan liturgi, Uskup, Romo DJ dan rombongan menuju ke depan basilika dan berfoto-foto bersama umat dan kemudian mengunjungi Milk Grotto. Akhirnya, rombongan kembali lagi ke basilika, dan mulai mengantri untuk menuju lokasi yang dipercaya merupakan tempat Yesus dilahirkan. Lokasi ini terletak di dalam basilika utama, di sebelah Gereja St. Catherine, dan pagi itu masih ada ibadat yang dipimpin imam-imam Orthodox. Sekitar dua ratusan peziarah sudah berdesakan mengantri di luar pintu, sambil mendengarkan doa-doa yang dinyanyikan dengan syahdu oleh imam-imam Orthodox. Melihat seorang uskup datang dengan busana khasnya, rombongan peziarah dari Prancis yang berada di tempat terdepan menyingkir memberi beliau jalan dan beberapa di antaranya mencium cincin beliau dengan takzim. Uskup dengan didampingi MC-nya diberikan tempat terdepan, persis di depan pintu masuk. Setelah ibadat selesai, Uskup mendapat kesempatan masuk pertama dan mencium lantai di lokasi tempat kelahiran Yesus dan tempat palungannya diletakkan. Sungguh suatu pengalaman yang tak terlupakan, bisa berada di tempat Kristus dilahirkan lebih dari dua ribu tahun yang lalu.

Bapa Kami Bahasa Indonesia

Puas berkunjung ke Basilika Kelahiran Yesus, kami dibawa ke Padang Gembala, dan melihat kondisi yang sama di mana lebih dari dua ribu tahun yang lalu para gembala menerima kabar dari malaikat tentang kelahiran Yesus. Para gembala adalah orang-orang yang pertama yang mengunjungi bayi Yesus di palungan. Dari Padang Gembala rombongan dibawa menuju Kapel Kenaikan, yang dipercaya merupakan lokasi di mana Yesus terangkat naik ke surga. Berikutnya, rombongan mengunjungi Gereja Pater Noster atau Gereja Bapa Kami, yang dinding-dindingnya penuh bertuliskan teks Doa Bapa Kami dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.

Sebuah lorong di kompleks Gereja Pater Noster (Foto: Corbis)

Dari Gereja Pater Noster, kami dibawa dan diberi kesempatan untuk berjalan kaki melalui jalan yang sama yang dilalui Yesus waktu memasuki kota Yerusalem dan dielu-elukan sebagai raja oleh penduduk Yerusalem. Di jalan ini, setiap tahun, pada hari Minggu Palma selalu dihelat prosesi yang diikuti puluhan atau bahkan mungkin ratusan ribu umat. Melewati jalan menuruni Bukit Zaitun ini, kita dapat membayangkan bagaimana penduduk Yerusalem dahulu menghamparkan pakaian mereka di atas jalanan yang dilalui Yesus yang menunggang keledai.

Jalan menuruni Bukit Zaitun yang dilalui Yesus (Foto: Judy)

Dalam sehari pertama di Yerusalem ini banyak sekali tempat-tempat yang dikunjungi, termasuk Gereja Dominus Flevit, yang dibangun di atas lokasi yang dipercaya sebagai tempat Yesus menangisi Yerusalem (bdk. Luk 19:41-44); Dormition Abbey, tempat Maria Diangkat ke Surga; Ruang Atas, tempat Yesus menyelenggarakan Perjamuan Malam Terakhir bersama para murid-Nya; Makam Raja Daud yang merupakan tempat suci orang Yahudi; dan juga Gereja Ayam Berkokok, yang didirikan di atas lokasi bekas Istana Kayafas, Imam Agung. Di bagian bawah gereja ini ada ruang-ruang bekas sel penjara, yang salah satunya diyakini sebagai tempat Yesus dipenjara dan disiksa. Banyak peziarah mengantri untuk dapat masuk ke ruangan ini dan berdoa khusyuk di dalamnya. Tidak sedikit yang keluar dengan mata yang basah. Malam harinya, peziarah masih mengikuti adorasi di Gereja Segala Bangsa di dekat Taman Getsemani.

Uskup Sutikno beristirahat di depan Gereja St. Anna

Hari kedua di Yerusalem dimulai dengan kunjungan ke Gereja St. Anna, yang diyakini merupakan tempat kelahiran Santa Perawan Maria. Gereja ini dibangun di atas lokasi rumah St. Anna dan St. Yoakim, orang tua Maria. Gereja yang berada di dekat Kolam Bethesda ini memiliki akustik yang baik sekali dan banyak peziarah, terutama kelompok paduan suara, yang menyanyi di sana saat berkunjung. Di samping gereja ini terdapat reruntuhan Kolam Bethesda, di mana Yesus pernah menyembuhkan seorang lumpuh (bdk. Yoh 5:1-9).

Uskup Sutikno memanggul salib

Dari Gereja St. Anna kami menuju ke Via Dolorosa, yaitu jalan yang dilalui Yesus saat memanggul salib-Nya ke Golgota. Sepanjang jalan ini para peziarah biasa melakukan Jalan Salib, yang nantinya berakhir di Basilika Makam Kudus, yang dibangun di atas Makam Kristus. Devosi Jalan Salib di Via Dolorosa biasa dilakukan sambil memanggul salib; biasanya bergantian antara para peziarah. Kami pun melakukannya, dan Uskup memulainya dengan memanggul salib dari Perhentian I ke II.

Mengikuti rute Jalan Salib, rombongan masuk ke Basilika Makam Kudus dari atas dan kemudian menuju tempat Misa hari ini, yaitu di Kapel Maria Magdalena, yang terletak beberapa meter dari tempat di mana jenazah Kristus pernah dibaringkan. Kapel ini berukuran kecil. Sembilan puluh orang peziarah kelompok kami memenuhi kursi-kursi yang ada dan beberapa di antara kami duduk di bangku panjang di samping.

Makam Kudus (Foto: Corbis)

Usai Misa, rombongan keluar dari kapel dan mulai mengantri untuk masuk ke Makam Kudus. Panjang sekali antriannya. Mungkin hampir dua ratusan orang dari ujung antrian sampai ke pintu masuk sempit yang dijaga klerus-klerus Orthodox. Para peziarah masuk bertiga-tiga, bergantian. Uskup Sutikno tidak perlu mengantri, tentunya. Para klerus Orthodox yang melihat beliau melintas dengan busana khas uskupnya memberi hormat seraya mempersilakan beliau untuk memotong antrian dan langsung masuk sendirian ke Makam Kudus.

Dari Makam Kudus kami dibawa ke Qumran, tempat ditemukannya Gulungan Laut Mati. Berikutnya kami menuju kota tua Yeriko dan makan siang di sana. Usai makan siang kami menuju ke Qasr al-Yahud, tempat Yesus dibaptis di Sungai Yordan. Di sana para peziarah mengucapkan pembaharuan janji baptis dan mendapat percikan air Sungai Yordan. Banyak juga peziarah lain yang dibaptis di sini, beberapa dengan metode baptis selam, dimana mereka dibenamkan seluruh tubuhnya ke dalam sungai. Hari ini ditutup dengan kunjungan ke Tembok Ratapan, tempat suci bagi umat Yahudi.

Qasr al-Yahud, di tepi Sungai Yordan: Tempat Yesus dibaptis (Foto: Corbis)

Hari terakhir dalam bulan Februari 2015 adalah hari keenam peziarahan kami. Hari ini kami berkunjung ke Gereja Visitasi, yang didirikan di atas lokasi rumah Elisabeth dan Zakaria, orang tua Yohanes Pembaptis, di Ein Karem. Ke tempat ini Maria yang sedang mengandung Yesus pernah datang dan tinggal sampai tiga bulan lamanya (bdk. Luk 1:5-60). Kami masih mampir ke beberapa tempat dalam perjalanan menuju ke Gunung Tabor, mengunjungi Basilika Transfigurasi, di mana Yesus menampakkan kemuliaan-Nya bersama Musa dan Elia. Puncak ziarah hari ini adalah Kana, sebuah kota di mana Yesus membuat mukjizat pertama-Nya dalam sebuah upacara perkawinan. Di basilika di Kana, peziarah biasa membuat pembaharuan janji perkawinan. Rombongan kami pun melakukannya. Dalam Misa yang dipimpin oleh Uskup yang didampingi Romo DJ, beberapa pasangan suami istri memperbaharui janji perkawinan mereka, dan di akhir Misa mendapat ucapan selamat dari beliau berdua dan seluruh anggota rombongan.

Hari pertama dalam bulan Maret 2015 kami awali dengan perjalanan ke arah utara. Hari ini kami berkunjung ke Gunung Hermon dengan puncak bersaljunya. Beberapa obyek yang dikunjungi sepanjang perjalanan, di antaranya: Tabgha–tempat Yesus memberi makan 5.000 orang dengan 5 roti dan 2 ikan (bdk. Mrk 6:30-46); Gereja Primat St. Petrus–tempat Yesus yang sudah bangkit menemui murid-murid-Nya dan memberikan perintah kepada Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya (bdk. Yoh 21:1-17); dan juga reruntuhan sinagoga di Kapernaum–tempat Yesus pernah mengajar. Puncak kunjungan hari ini adalah Bukit 8 Sabda Bahagia. Sesuai namanya, bukit ini adalah tempat Yesus dahulu pernah menyampaikan 8 Sabda Bahagia (bdk. Mat 5:1-12). Di bukit ini–benar-benar di bukit, di alam terbuka–kami merayakan Ekaristi.

Peziarah berfoto bersama usai Misa di Bukit 8 Sabda Bahagia

Kapernaum yang kami kunjungi dalam perjalanan hari ini adalah sebuah kota kecil di daerah Galilea. Di kota ini Yesus banyak melakukan mukjizat, termasuk menyembuhkan: orang yang kerasukan roh jahat (bdk. Mrk 1:23-28); hamba seorang perwira yang lumpuh (bdk. Mat 8:5-13), orang lumpuh yang diturunkan dari atap (bdk. Mat 9:1-8), ibu mertua Petrus (bdk. Mat 8:14-15); anak kepala rumah ibadat (bdk. Mrk 5:21-43) dan wanita yang 12 tahun menderita sakit pendarahan (bdk. Mrk 5:25-34). Meski begitu, Kapernaum juga adalah salah satu dari tiga kota yang pernah dikutuk Yesus karena kurangnya iman mereka (bdk. Mat 11:23-24 dan Luk 10:14-15).

Reruntuhan Sinagoga di Kapernaum (Foto: Corbis)

Hari ini ditutup dengan naik kapal di Danau Galilea yang sungguh luas–panjangnya 21 km dan lebarnya 13 km. Kurang lebih sejam kami merasakan bagaimana murid-murid Yesus dahulu biasa berperahu mencari ikan di danau ini. Selama pelayaran di kapal diputar lagu-lagu dalam Bahasa Indonesia. Uskup pun menyanyi dan menari gembira bersama umat. Di luar keuskupan Surabaya, YM Sutikno mungkin dikenal sebagai uskup yang konservatif dalam liturgi. Bagi beliau, Misa adalah Misa. Misa bukanlah suatu pertunjukan; tidak perlu menampilkan tari-tarian di dalam Misa. Meski begitu, umat beliau tahu benar bahwa gembala mereka suka menyanyi dan menari, dan adalah pribadi yang sungguh jenaka. Audiensi dengan beliau selalu penuh dengan gelak tawa. Uskup Sutikno tidak pernah membuat jarak dengan umat; beliau sangat terbuka dan biasa bicara apa adanya.

Nelayan di Danau Galilea (Foto: Corbis)

Setelah bermalam di tepi Danau Galilea yang dikenal juga dengan nama Danau Genesaret atau Danau Tiberias, esoknya rombongan dibawa ke Nazareth. Kami berkunjung ke Nazareth Village–suatu obyek wisata yang menampilkan suasana kota Nazareth pada jaman Yesus dahulu. Hari ini kami juga berkunjung ke Basilika Kabar Sukacita, yang dibangun di tempat di mana Maria pernah menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel. Di basilika inilah kami merayakan Misa hari ini. Tanpa kami sadari, ada seorang bapak tua peziarah yang bergabung dalam Misa Bahasa Indonesia kami dan menerima Tubuh Kristus dari Romo DJ. Usai komuni, ia pun menghampiri Uskup, mencium cincin beliau dengan penuh hormat dan meminta berkat. Uskup Sutikno membuat tanda salib di dahi bapak tua ini seraya mengucapkan formula dalam Bahasa Latin yang lalu diamininya. Benar-benar suatu pemandangan yang menyentuh hati para peziarah anggota rombongan kami.

Kedatangan seorang uskup dari Indonesia lengkap dengan busana kebesarannya dan disertai pula oleh seremoniarius yang mempersiapkan liturginya dengan serius rupanya menarik perhatian imam Fransiskan yang mengurus sakristi basilika ini. Ia pun memberi tahu saudaranya, seorang imam Fransiskan lain yang kebetulan berasal dari Indonesia dan sudah beberapa waktu ditugaskan di Basilika Kabar Sukacita ini. Romo Jordan nama imam Indonesia itu; ia masih muda dan rupawan; ia berasal dari Jakarta. Romo Jordan menyambut Uskup dan Romo DJ, dan mengajak beliau berdua melihat-lihat biaranya.

Usai melihat-lihat, Uskup Sutikno diminta memimpin Doa Angelus yang diselenggarakan di basilika ini pada pukul 12:00 siang. Suatu pengalaman yang luar biasa bagi rombongan kami, untuk dapat mendoakan Angelus di tempat di mana Santa Perawan Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel. Diawali oleh seorang misdinar yang membawa pedupaan yang mengepul, prosesi berarak meninggalkan sakristi basilika, menuju sebuah kapel kecil di bawah tanah basilika. Beberapa biarawan dan imam Fransiskan ikut dalam prosesi ini, menyanyikan Stabat Mater Dolorosa. Klik di link ini untuk melihat videoklip prosesi masuk. Doa Angelus dipanjatkan dalam Bahasa Latin, dengan renungan pendek dalam Bahasa Italia, dari seorang imam Fransiskan. Pasca renungan, pada waktu saat hening, Uskup diberi kesempatan untuk mencium batu di lokasi tempat Maria menerima kabar sukacita. Pada bagian akhir, Uskup diminta memberikan berkat kepada semua yang hadir, dengan formula berkat uskup dalam Bahasa Latin.

Altar di bawah tanah Basilika Kabar Sukacita:
tempat Maria menerima kabar dari Malaikat Gabriel
(Foto: Corbis) 

Setelah makan siang di restoran Italia di dekat basilika, rombongan kami meninggalkan Nazareth dan menuju perbatasan Yordania. Malam harinya kami tiba di sebuah hotel resor yang indah dengan pantai privat yang menghadap Laut Mati. Esoknya, kami menikmati Laut Mati yang kadar garamnya hampir 10x lebih tinggi dari lautan normal. Di laut yang hampir tak berombak ini, manusia akan otomatis mengapung, karena kadar garamnya yang tinggi–bisa mencapai 34%.

Pemandangan dari pantai Laut Mati di belakang hotel sungguh indah di pagi hari tanpa awan ini. Kota tua Yerusalem di puncak bukit terlihat sungguh agung di seberang lautan yang lebarnya hanya 15 km ini; kuning keemasan ditimpa cahaya mentari pagi, berlatar belakang langit biru tanpa awan. Masih terngiang lagu The Holy City: Jerusalem, Jerusalem, Lift Up Your Gates and Sing–versi asli dari Yerusalem, Yerusalem Lihatlah Rajamu–yang berkali-kali diputar selama kami berada di Yerusalem hari-hari yang lalu. Silakan klik di sini untuk mendengarkan lagu indah ini.

Puas menikmati Laut Mati, kami diajak menuju Petra, sebuah kota yang dipahat di dinding-dinding batu di Wadi Araba, sebuah lembah bercadas di Yordania. Hari sudah malam ketika rombongan kembali ke hotel untuk beristirahat.

Papan petunjuk di puncak Gunung Nebo,
tempat Musa melihat Tanah Terjanji (Foto: Corbis)

Hari terakhir peziarahan kami diisi dengan kunjungan ke Gunung Nebo. Di tempat di mana Musa diperlihatkan tanah yang dijanjikan bagi bangsa Israel ini kami berkesempatan merayakan Ekaristi yang terakhir sebelum pulang ke Indonesia. Pemandangan dari puncak gunung ini ke Tanah Terjanji memang sangat indah. Sejenak para peziarah mencoba menyelami apa yang dilihat dan dirasakan Musa sebelum wafatnya, ketika melihat tanah yang akan diberikan bagi bangsanya, setelah empat puluh tahun mengembara di padang gurun. Pemandangan luar biasa ini menutup peziarahan kami di Tanah Suci; semoga damai senantiasa meliputinya.

Semoga cerita panjang ini, berikut foto-foto dan link-link-nya, dapat membawa pembaca untuk turut berziarah batin ke Tanah Suci.